How to Survive Bridesmaid Dress Shopping

Going to your first bridesmaid dress fitting can seem like a daunting task for the entire bridal party. What should be a fun experience with your girls can quickly turn into something you all dread…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Can we just stay like this?

Puluhan mahasiswa dan mahasiswi tak berhenti berlalu lalang sedari tadi. Ada yang pulang, dan ada juga yang datang. Ada yang mendapati kelas sore, ada juga yang mendapati kelas pagi namun tak langsung pulang ke rumah atau kostnya masing-masing. Karena mayoritas dari mereka lebih suka menghabiskan waktunya di kampus.

Disini, di gedung atas yang memang jarang sekali di tempati. Gemma dan Galen mengobrol. Entah ada maksud apa, setelah mereka berdua selesai rapat, Galen meminta Gemma untuk menemaninya ke atas. Ingin mencari angin katanya. Gemma yang kebetulan tak ada kegiatan penting setelah rapat, hanya bisa menurut dengan pasrah.

Mereka berdiri berdampingan, masing-masing kedua tangannya bertompang pada satu tembok yang memang tingginya hanya dibawah dada mereka. Galen dengan kaos putih yang dibalut kemeja hitam polos, dan Gemma dengan kemeja polos warna putih. Keduanya asik menikmati pemandangan di bawah. Menikmati setiap hembusan angin yang lewat. Dan menertawakan hal-hal konyol yang terjadi di bawah.

Gemma tak banyak buka suara. Ia selalu bingung untuk memulai percakapan. Maka dengan itu, Galen dengan pertanyaan-pertanyaan konyol nya lah yang mampu mencairkan suasana. Contohnya saja,

“By the way, gue penasaran dah. Nama belakang lo tuh ada sejarahnya apa gimana? Jarang denger gue orang yang namanya Arsenic.” Galen membuka obrolan. Hampir setelah sekitar lima menit tak ada perbincangan di antara mereka. Hanya ada suara sorak-sorak kecil dari bawah dan suara hembusan angin yang menyerkup mereka berdua.

Gemma yang sedang melamun pun, menoleh, “Oh, itu dulu Ayah gue suka banget sama Arsenal. Makanya gue dinamain Gemma Arsenic.”

“Lah? Sama dong? Itu nama gue ada Juventio-nya karena apa coba? Ya karena bokap gue demen Juventus anjir.”

Gemma tertawa, bisa-bisanya.

“HAHAHAHA kocak banget dah. Kok bokap-bokap kita kepikiran ya.” Galen pun ikut tertawa dibuatnya.

“Gak tau dah. Gue juga heran sama pola pikir bapak-bapak jaman dulu.”

“Tapi keren sih, Len.” Gemma tiba-tiba memuji. Yang di puji heran, Galen mengangkat satu alisnya, bingung.

“Apanya?”

“Nama lo.”

“Hahaha. Orangnya keren juga gak?”

“Kagak. Ngeselin.”

“Yeee. Masih aja.”

Langit sudah hampir gelap. Galen mengajak Gemma untuk pulang. Karena kebetulan memang Galen yang mengajak Gemma untuk berangkat bersama sedari siang tadi, katanya sekalian rapat juga, kan.

“Laper gak, Gem?”

“Lumayan, sih.”

“Mie ayam yuk. Gue traktir.”

“Hahahaha. Boleh, deh.”

Akhirnya mereka berdua turun kebawah. Berjalan ke parkiran kampus, dan menuju ke tempat mie ayam yang di maksud Galen tadi.

“Gue aja yang pesen ya,”

“Iya, gue cari tempat dulu.”

Gemma memberikan jempolnya. Galen berjalan mencari bangku yang kosong dan nyaman. Tak lama, sekitar sepuluh menit kemudian, Gemma datang dengan tangannya yang memegang dua mangkuk mie ayam.

“Thanks, Gem.”

“Yoi.”

Mie ayam itu mereka lahap habis. Karena memang keduanya sedang lapar. Gemma yang biasanya tak mengisi perutnya ketika hendak pergi ke kampus. Dan Galen juga yang memang hanya menelan satu bungkus roti saja sejak pagi tadi. Kebiasaan budak kampus, nih.

“Gak usah lagi lah lo ngasih tatapan begitu ke gue.”

Galen heran, kenapa tiba-tiba Gemma menegurnya seperti itu.

“Maksudnya?” tanya Galen.

“Tatapan ngasihanin gue kayak waktu itu. Waktu awal lo jabat jadi ketua angkatan.”

“Hahaha. Muka lo soalnya kayak belum makan 4 hari.”

“Kalo emang iya, kenapa?” galak. Galen hanya bisa diam. Kemudian ia melanjutkan kegiatannya; menghabiskan sisa mie ayamnya.

Keduanya sudah selesai. Mie ayam itu tak tersisa sama sekali. Benar-benar di lahap bersih. Gemma bosan. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil benda berbentuk persegi panjang itu. Gemma yang asik dengan ponselnya, sedangkan Galen asik menikmati setiap hisapan rokok yang ia tempelkan pada bibirnya.

“Lo ngerokok mulu.” tegur Gemma, yang tiba-tiba memberi perhatian kepada Galen. Merasa diperhatikan, Galen tersenyum.

“Emang kenapa? Mau juga?” Tanya Galen.

“Gak dibolehin sama Mami.” Tolak Gemma pahit. Dirinya kembali fokuskan pada ponsel yang di genggamnya.

“Yaudah. Cobain aja ini dari bibir gue.” Goda Galen sambil mengangkat-angkat alisnya. Gemma memutar bola matanya malas. Tak mau tanggapi omongan konyol dari temannya itu.

Di pikiran Gemma, Galen itu orang yang paling menyebalkan. Memang begitu pada awalnya, dan faktanya, setelah kenal juga tetap sama menyebalkannya. Sudah hampir beberapa bulan berteman, namun tak tahu kenapa Gemma yang selalu di usik hidupnya oleh Galen, ia tak menjauh. Benar-benar masih bersama Galen hingga detik ini. Galen yang memang presensi awalnya sudah menyebalkan bagi Gemma, seharusnya sih Gemma tak perlu repot-repot mau berteman dengan Galen. Tapi kenapa, hingga saat ini ia masih mau berteman dengan Galen ya?

Kehadiran awal Galen sungguh sangat menyebalkan bagi Gemma. Berawal dari kegiatan makan bersama saat ospek, Galen dengan seenaknya menyerobot antrian Gemma saat hendak mengambil makanan yang di sediakan panitia saat itu. Dan setelah itu, Galen dengan wajah tanpa dosanya hanya memberikan senyum seraya berkata, “Maaf ya, gue laper soalnya.” Gemma yang memang anaknya gampang sekali pasrah, tak banyak protes, ia hanya menghela nafasnya kasar. Kedua, Galen mendaftar organisasi yang sama dengan Gemma, sehari setelah Gemma mendaftar. Padahal kan, masih banyak organisasi lain yang bisa diikuti? Ah entahlah, Gemma tidak peduli. Ketiga, Galen memilih divisi yang sama dengan Gemma. Yang ini lebih menyebalkan, pasalnya, ada banyak opsi divisi yang bisa dipilih, kenapa harus bareng lagi? Batin Gemma. Keempat, Galen ikut mencalonkan diri sebagai ketua divisi. Dan ketika di umumkan siapa yang menjadi ketua divisi saat itu, Galen memberikan tatapan seperti “Mengasihani” Gemma. Dan Gemma benci tatapan itu.

Namun seiring berjalannya waktu, Gemma mulai ikhlas. Ikhlas kalau dirinya tak bisa menjadi hebat seperti Galen yang bisa terpilih sebagai ketua divisi. Gemma mulai memaafkan teman yang dulunya di cap “Si gak mau kalah” itu oleh dirinya sendiri.

“Gem,” di tengah keheningan, Galen memanggil. Gemma yang sepertinya sedang mengetik sesuatu, tiba-tiba berhenti, lalu tatap orang yang memanggilnya.

“Apaan?”

“Maaf ya, kalo dari awal gue presensi gue emang bikin lo kesel.”

Gemma tertawa,

“Pftttt. Kirain kagak nyadar kalo lo ngeselin.”

Galen membuang putung rokoknya yang sudah habis, membenarkan posisi duduknya agar lebih berhadapan dengan Gemma di depannya.

“Tau gak kenapa gue kayak gitu?”

Gemma memasang wajah bingungnya,

“Emang kenapa?”

“Gue pengen kenal lebih deket sama lo, Gem.”

Add a comment

Related posts:

Why buy followers?

Instagram is a very popular social software App in the world, referred to as Ins or IG. Now many foreign and domestic celebrities are playing ins, and there are many users and fans on Instagram, but…

McCulloch Pitts Neuron

The McCulloch-Pitts neuron, also known as the threshold logic unit, is a fundamental concept in neural network theory. It is a mathematical model of a simple artificial neuron that can process binary…

5 Creative Ideas for Promoting Research on Social Media

Researchers and academics tend to view social media as a personal indulgence, a diversion from work. But social media platforms can be one of the most effective ways to promote new research and…