Who could win the Brilliant Boot at the FIFA World Cup Qatar 2022?

Groups have entered the knockout period of the World Cup in Qatar and players are not just contending to bring home the championship for their nation yet additionally the esteemed Brilliant Boot…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Lampu Hijau

Gino keluar dari kamarnya masih dengan tawa kecil sisa dari membaca keseruan groupchat yang menciduk Jere dan Varel. Tangannya yang satu membawa keranjang baju kotor, bajunya selama mereka di Puncak kemarin. Di dalam sana sudah terdapat juga baju Owen, lelaki itu tadi sudah menyerahkan kepadanya sebelum pergi bermain dengan teman temannya.

“Nio,” ketuk Gino pada pintu kamar Nio. Membuat pemilik kamarnya menyembulkan kepalanya bingung.

“Baju. Mau cuci.”

“Oh, lo mau cuci sekarang?” Nio meninggalkan pintu kamarnya terbuka untuk mengambil tumpukan baju kotornya. “Gue kira entaran.”

“Nanti rebutan sama yang di atas, mending sekarang aja. Lagian nanti sore gue cabut.”

“Kerja?”

Gino mengangguk. “Gue nyuci dulu dah. Lo kalo ada yang ketinggalan langsung nyusul ke belakang aja,” setelahnya Gino melangkah pergi menuju ruang cuci dengan keranjang yang kini sudah penuh dengan baju kotor yang menumpuk tinggi.

Selain jadwal memasak, mereka juga membuat jadwal untuk mencuci baju. Hal ini dikarenakan mereka berjumlah delapan orang sedangkan mesin cuci hanya satu. Tidak selalu dan tidak semuanya memiliki waktu luang untuk mencuci baju lebih cepat. Tidak jarang akan ada dua atau tiga orang yang bentrok ketika akan menggunakan mesin cuci.

Maka dari itu mereka membuat peraturan setiap hari akan adanya rolling untuk mencuci baju berdasarkan lantai mereka tinggal. Gino, Owen dan Nio bersorak karena mereka hanya bertiga, berbeda dengan empat lainnya yang mengerang sebal.

Hari masih termasuk pagi, masih pukul 9 sehingga langit di luar sana masih terlihat teduh. Membuat Gino merasa bersyukur karena ia tidak perlu merasa panas dan gerah selama mencuci baju.

Dirinya sedang mengisi mesin cuci dengan air sembari memilah baju yang terikat atau menggumpal untuk diluruskan. Saat dirasa air sudah cukup, Gino mulai memasukan satu persatu baju itu agar tidak ada yang terikat berantakan saat mesin berputar.

Di tengah pekerjaannya, Gino bisa mendengar langkah kaki terdengar memasuki ruang yang sama dengan dirinya. Matanya melirik menemukan Tian yang juga meliriknya namun kakinya terus berjalan lurus hingga keluar ke taman belakang.

Tidak ada yang berbincang. Gino yang masih memasukan baju dan Tian yang memandangi taman belakang dan ponselnya bergantian.

“Gi, gue udah infoin ke Bapak kalo rumput taman belakang udah butuh diberesin. Kalo gak besok kayaknya lusa tukangnya dateng kesini buat beresin,” ucap Tian tiba tiba. “Gue besok sama lusa baru balik jam 6an kayaknya, jadi tolong ya kalo lo ada di kosan. Kalo lo sibuk, gue minta tolong ke bocah bocah.”

“Besok gue di kosan, bisa gue urusin. Tapi kalo lusa gak bisa, berangkat dari pagi.”

Tian mengangguk mendengarnya. Tangannya mengetik cepat di atas layar ponselnya sebelum ponsel itu ia masukan ke dalam kantong celananya. Gino kira lelaki itu akan pergi dari sana, tapi ternyata Tian mendatanginya. Berdiri di sebelah mesin cuci.

“Ngapain?”

“Apa?”

“Ngapain masih disini?”

Tian mengendikkan bahunya. “Ya gapapa. Disini ada lo ini, gak bakal aneh kan gue nongkrong disini?”

Iya sih, Tian benar. Tidak salah ia berada di ruang mesin cuci yang juga menjadi bagian di dalam kos. Ia yang aneh karena bertanya seperti itu.

Gino menggelengkan kepalanya pelan sembari memasukan baju terakhir ke dalam mesin. Lalu ia mencari sabun cuci baju yang entah diletakkan dimana oleh yang terakhir menggunakannya.

“Gi, boleh nanya gak sih gue?”

“Tanya aja,” jawabnya singkat masih sibuk mencari. Ah, akhirnya matanya menangkap letak sabun cuci itu di rak bawah.

“Tentang isi chat lo sebelum kita pulang. Disitu lo typo banget. Gue ngerti sih, tapi gue mau mastiin lagi karena ya tulisan lo kan typo gitu. Gue takut aja apa yang gue tangkap ternyata beda dari yang lo sampein ke gue.”

Rasanya Gino ingin terus berjongkok di depan rak yang terbuka. Rasanya ia ingin menyembunyikan dirinya di samping mesin cuci bagian lain yang tidak terlihat oleh Tian. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan lelaki itu saat itu juga.

Tapi bisa apa Gino jika tubuhnya sudah terlanjur berdiri tegak. Berdiri bersebelahan dengan Tian yang berdiri menyamping lurus menghadapnya. Persis seperti posisi di depan kandang komodo saat itu.

“Ya sepahamnya lo aja kalo gitu.”

“Mana bisa gitu,” Tian menyenderkan dua tangannya di atas bagian mesin yang tertutup. “Beneran dikasih lampu hijau gak sih? Atau sebenernya lo bilang kalo engga mau kasih lampu hijau?”

Diam diam Gino mengutuk Tian dalam hati yang bisa dengan gamblangnya bertanya seperti itu. Apa Tian tidak memikirkan perasaannya yang sangat malu dan ingin menghilang saat ini?

“Hm,” hanya berdeham yang mampu Gino beri.

“Hm apaan? Itu jawaban buat kasih lampu hijau atau engga kasih?”

Gino ingin berteriak di depan wajah lelaki itu rasanya. Tapi lagi lagi hanya dehaman panjang yang bisa ia berikan.

“Coba ngomong Gi, iya atau engga- eh woi,” tangan Tian dengan cekatan memegang pergelangan Gino, menahan lelaki itu untuk terus menuangkan sabun cair itu.

“Jangan banyak banyak kalo pake yang ini. Sabunnya bikin busa banyak, nanti busanya kemana mana.”

Bungkus sabun cair itu sudah tidak lagi Gino pegang, sudah berpindah tempat entah diletakan Tian dimana. Tetapi pergelangan tangannya masih disana, di dalam genggam pelan Tian.

“Gi, lo malu ya?”

Tian tidak butuh jawaban sepertinya. Wajah yang berubah seperti kepiting rebus itu sudah menjadi jawabannya.

Tian mendengus kecil, lucu melihat lelaki di depannya yang terlihat sangat menahan rasa malunya.

Sorry gue gak peka nanya lo ginian secara langsung,” tangannya lalu mengacak gemas rambut halus yang sudah semakin panjang itu. “Gue cabut duluan, harus pergi sekarang soalnya.”

“Lo gamau tau jawabannya?”

Langkah Tian yang hendak berbalik badan terhenti. Matanya menatap bingung Gino. Tentu ia butuh jawaban, tapi apa Gino mampu memberinya jawaban sekarang? Tiba tiba ia merasa khawatir, takut jika ternyata apa yang ia tangkap saat itu benar berbeda dengan apa yang ingin Gino sampaikan karena lelaki itu kini sedang menatap lurus ke arahnya.

Kemana Gino yang malu malu tadi? Kemana wajah merah padamnya? Kemana Gino yang menghindari tatapannya sejak tadi?

Lelaki itu masih sempat menyalakan mesin, membuat suara mesin cuci yang mulai berputar terdengar memecah hening di antara mereka. Langkah Gino membawanya tepat berada di depan Tian saat ini.

“Tutup mata.”

“Buat?”

“Tutup mata aja,” kekeuh Gino membuat Tian menurutinya.

Ia menahan nafasnya kala merasakan kehadiran Gino yang semakin dekat dengannya. Hembusan nafas lelaki itu mengenai leher bagian kanannya. Jika Tian tebak, sepertinya Gino akan membisikkan sesuatu.

“Lampu hijau, buat lo,” benar sesuai perkiraan Tian. Lelaki itu berbisik di telinganya.

Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut karena berhasil menebak. Bukan jawaban itu juga yang membuatnya terkejut karena apa yang Gino sampaikan sama seperti apa yang ia tangkap dari typing typo Gino.

Ciuman sekilas, hampir tidak terasa, yang mengenai daun telinganya yang membuat matanya terbuka terkejut. Hanya rambut Gino yang berlalu yang sempat ia lihat sebelum lelaki itu pergi meninggalkannya setelah selesai berucap.

Sorry, ada angin gak sengaja dorong gue.”

Add a comment

Related posts:

Are you ready to hire our Amritsar Escorts

There is certainly no flaw in the service of the Amritsar Escorts. They are excellent ladies who always shower their love on their clients. They are compassionate and will make things incomparable…